Senin, 30 Maret 2015

MAKALAH Penaralaran. Berpikir Deduktif, Dan Berpikir Induktif

MAKALAH PENALARAN, BERPIKIR DEDUKTIF DAN BERPIKIR INDUKTIF.

Nama : Gilang Wisesha
NPM : 13110005
Kelas : 3KA36

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penalaran atau reasoning merupakan suatu konsep yang paling umum menunjuk pada salah satu proses pemikiran untuk sampai pada suatu kesimpuan sebagai pernyataan baru dari beberapa pernyataan lain yang telah diketahui. Dalam pernyataan-pernyataan itu terdiri dari pengertia-pengertian sebagai unsurnya yang antara pengertian satu dengan yang lain ada batas-batas tertentu untuk menghindarkan kekabutan arti.
Unsur-unsur di sini bukan merupakan bagian-bagian yang menyusun suatu penalaran tetapi merupakan hal-hal sebagai prinsip yang harus diketahui terlebih dahulu, karena penalaran adalah suatu proses yang sifatnya dinamis tergantung pada pangkal pikirnya. Unsur-unsur penalaran yang dimaksudkan adalah tentang pengertian, karena pengertian ini merupakan dasar dari semua bentuk penalaran. Untuk mendapatkan pengertian sesuatu dengan baik sering juga dibutuhkan suatu analisa dalam bentuk pemecah-belahan sesuatu pengertian umum ke pengertian yang menyusunnya, hal ini secara teknis disebut dengan istilah pembagian.
Dan selanjutnya diadakan pembatasan arti atau definisi. Mendefinisikan sesuatu masalah bukanlah hal yang berlebihan, tetapi untuk memperjelas sebagai titik tolak penalaran, sehingga kekaburan arti dapat dihindarkan. Definisi dan pembagian merupakan dua hal yang saling melengkapi. Untuk mendapatkan definisi yang baik sering membutuhkan suatu pembagian. Demikian juga untuk memudahkan mengadakan pembagian, suatu definisi sering juga dibutuhkan.
Dalam proses pemikiran yang berbentuk penalaran, antara pengertian satu dengan yang lain dapat dihubungkan dan seterusnya diungkapkan dalam bentuk kalimat, dan kalimat ini ada yang disebut kalimat tertutup atau disebut juga dengan pernyataan. Dan pernyataan inilah merupakan bentuk terakhir yang akan di perbandingkan dalam penalaran. Oleh karena itu, dalam bab ini sebagai awal pembicaraan logika akan diuraikan berturut-turut tentang pengertian dan term, pembagian dan definisi, serta tentang pernyataan dan penalaran.

1.2 Permasalahan
1.2.1 Apa prinsip dan unsur penalaran ?
1.2.2 Apa itu penalaran induktif dan deduktif ?
1.2.3 Bagaimana cara menyusun definisi ?
1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui prinsip dan unsur penalaran.
1.3.2 Mengetahui penalaran induktif dan dedutif.
1.3.3 Mengetahui cara menyusun definisi.
































BAB II
TEORI DAN PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Penalaran

Penalaran adalah bentuk tertinggi dari pemikiran, oleh sebab itu penalaran lebih rumit dibanding pengertian proposisi.
Hakikat penalaran terlahir dari tutur bahasa makhluk yang berpikir. Secara sederhana penalaran dapat didefinisikan sebagai proses pengambilan kesimpulan berdasarkan proposisi-proposisi yang mendahuluinya.
Kalimat pernyataan yang dapat dipergunakan sebagai data itu disebut proposisi. Sebelum kita mengetahui apa itu proposisi, terlebih dahulu kita harus mengetahui apa yang dimaksud term. Term adalah suatu kata atau kelompok kata yang menempati subjek (S) dan predikat (P). Tidak semua kata adalah term, meskipun setiap term itu adalah kata atau kumpulan kata.
Contohnya :
Orang tua asuh, pecinta alam, binatang, dll.

Adapun pengertian dari proposisi adalah kalimat logika yang merupakan pernyataan antara dua atau beberapa hal yang dapat dinilai benar atau salah. Proposisi merupakan suatu kegiatan rohani, baik menyuguhkan atau mengingkari.
Contohnya :
Proposisi yang menyuguhkan “ semua orang negro berkulit hitam “ dan proposisi yang mengingkarinya “tidak semua orang negro berkulit hitam”.

Jadi, penlaran adalah proses berfikir yang sistematik untuk memperoleh sebuah kesimpulan berupa pengetahuan. Penalaran juga merupakan proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (pengamatan empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Berdasarkan pengamatan yang sejenis juga akan terbentuk proposisi-proposisi yang sejenis. Dan berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap benar, orang menyimpulkan sebuah proposisi baru yang sebelumnya tidak diketahui. Proses inilah yang disebut dengan menalar. Dalam penalaran, proposisi yang dijadikan dasar penyimpulan disebut premis entesedens) dan hasil kesimpulannya disebut konklusi (consequence).
Dan hubungan antara premis dan konklusi disebut konsekuensi. Kegiatan penalaran mungkin bersifat ilmiah atau tidak ilmiah. Dari prosesnya, penalaran itu dapat dibedakan sebagai penalaran induktif dan penalaran deduktif. Penalaran ilmiah mencakup kedua proses penalaran itu.

2.Berpikir Secara Induktif

Penalaran induktif atau berpikir Induktif adalah proses penalaran untuk menarik kesimpulan berupa prinsip atau sifat yang berlaku umum berdasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus, prosesnya disebut induksi.
Contoh:
Suatu lembaga kanker di Amerika melakukan studi tentang hubungan antara kebiasaan merokok dengan kematian. Antara tanggal 1 Januari dan 31 Mei 1952 terdaftar 187.783 laki-laki yang berumur antara 50 sampai dengan 69 tahun. Kepada mereka dikemukakan pertanyaan-pertanyaan tentang kebiasaan merokok mereka pada masa lalu dan masa sekarang. Selanjutnya keadaan mereka diikuti ters menerus selama 44 bulan. Berdasarkan surat kematian dan keterangan medis tentang penyebab kematiannya, diperoleh data bahwa diantara 11.870 kematian yang dilaporkan 2.249 disebabkan kanker.

Dari seluruh jumlah kematian yang terjadi (baik yang merokok maupun yang tidak) ternyata angka kematian dikalangan pengisap rokok tetap jauh lebih tinggi daripada yang tidak pernah merokok, sedangkn jumlah kematian penghisap pipa dan cerutu tidak banyak berbeda dengan jumlah kematian yang tidak pernah merokok.

Dari bukti-bukti yang terkumpul dapatlah dikemukakan bahwa asap tembakau memberikan pengaruh yang buruk dan memperpendek umur mnusia. Cara yang paling sederhana untuk menghindari kemungkinan itu ialah dengan tidak merokok sama sekali.
Hukum yang disimpulkan difenomena yang diselidiki berlaku bagi fenomena sejenis yang belum diteliti. Beberapa bentuk penalaran induktif adalah sebagai berikut :

2.2.1 Generalisasi

Ganeralisasi adalah suatu proses penalaran yang bertolak dari sejumlah fenomena individual (khusus) menuju kesimpulan umum yang mengikat seluruh fenomena sejenis dengan fenomena individual yang diselidiki.
Macam-macam generalisasi :

a. Generalisasi sempurna
Generalisasi sempurna adalah generalisasi dimana seluruh fenomena yang menjadi dasar penyimpulan diselidiki.
Contohnya, setelah kita memperhatikan jumlah hari pada setiap bulan tahun Masehi kemudian disimpulkan bahwa :
Semua bulan Masehi mempunyai hari tidak lebih dari 31. Dari penyimpulan ini, keseluruhan fenomena yaitu jumlah hari pada setiap bulan kita selidiki tanpa ada yang kita tinggalkan. Generalisasi macam ini memberikan kesimpulan amat kuat dan tidak dapat diserang. Tetapi tentu saja tidak praktis dan tidak ekonomis.

b. Generalisasi tidak sempurna
Generalisasi tidak sempurna yaitu generalisasi berdasarkan sebagian fenomena untuk mendapatkan kesimpulan yang berlaku bagi fenomena sejenis yang belum diselidiki.
Contohnya, setelah kita menyelidiki sebagian bangsa indonesia, ternyata mereka adalah manusia yang suka bergotong-royong, maka penyimpulan ini adalah generalisasi tidak sempurna.
Sah atau tidaknya sebuah simpulan dari generalisasi itu dapat dilihat dari hal-hal berikut :
  a. Data itu harus memadai jumlahnya. Semakin banyak data yang didapat atau dikumpulkan, makin   sah pula simpulan yang diperoleh
  b. Data itu harus mewakili keseluruhan. Dari data yang sama itu akan dihasilkan simpulan yang sah.
 c. Pengecualian perlu diperhitungkan karena data-data yang mempunyai sifat khusus tidak dapat dijadikan data. 

2.2.2 Analogi
Analogi adalah suatu perbandingan yang mencoba membuat suatu gagasan terlihat benar dengan cara membandingkannya dengan gagasan lain yang mempunyai hubungan dengan gagasan yang pertama. Dengan kata lain, penalaran analogi dapat diartikan sebagai proses penyimpulan berdasarkan fakta atau kesamaan atau proses membandingkan dari dua peristiwa (hal) yang berlainan berdasarkan kesamaannya kemudian ditariklah kesimpulan dari persamaannya tersebut.
Jenis – Jenis Analogi : 
a. Analogi Induktif 
Analogi induktif, yaitu analogi yang disusun berdasarkan persamaan yang ada pada dua fenomena, kemudian ditarik kesimpulan bahwa apa yang ada pada fenomena pertama terjadi juga pada fenomena kedua. Analogi induktif merupakan suatu metode yang sangat bermanfaat untuk membuat suatu kesimpulan yang dapat diterima berdasarkan pada persamaan yang terbukti terdapat pada dua barang khusus yang diperbandingkan. 
Contoh analogi induktif :
Club Persija Jakarta mampu masuk babak final karena berlatih setiap hari. Maka Club Persib Bandung akan masuk babak final jika berlatih setiap hari.
b. Analogi Deklaratif 
Analogi deklaratif merupakan metode untuk menjelaskan atau menegaskan sesuatu yang belum dikenal atau masih samar, dengan sesuatu yang sudah dikenal. Cara ini sangat bermanfaat karena ide-ide baru menjadi dikenal atau dapat diterima apabila dihubungkan dengan hal-hal yang sudah kita ketahui atau kita percayai.
Contoh analogi deklaratif :
Deklaratif untuk penyelenggaraan negara yang baik diperlukan sinergitas antara kepala negara dengan warga negaranya. Sebagaimana manusia, untuk mewujudkan perbuatan yang benar diperlukan sinergitas antara akal dan hati.

2.2.3 Hubungan Klausal
Hubungan klausal adalah cara penalaran yang diperoleh dari peristiwa-peristiwa yang memiliki pola hubungan atau saling berhubungan satu sama lain. Yaitu salah satu variable (independen) mempengaruhi variable yang lain (dependen). Dalam kaitannya dengan hubungan klausal ini, ada tiga hubungan antarmasalah, yaitu sebagai berikut:
a. Hubungan sebab-akibat
Hubungan sebab-akibat ini berpola A menyebabkan B. Namun juga bisa berpola A menyebabkan C atau menyebabkan D, dan seterusnya.
Contohnya :
Kemarin Budi tidak dapat mengerjakan soal ujian. Hari ini pengumuman nilai ujian dan Budi mendapatkan nilai yang jelek. Karena itu, Budi pasti tidak belajar.

b. Hubungan akibat-sebab
Dalam penalaran jenis akibat-sebab ini, peristiwa “sebab” merupakan simpulan.

c. Hubungan akibat-akibat
Hubungan akibat-akibat adalah suatu penalaran yang menyiratkan penyebabnya.
Yaitu peristiwa “akibat” langung disimpulkan pada “akibat” yang lain.
Contohnya :
Kemarau panjang menyebabkan sungai kering.
(A) (B)
Kemarau panjang menyebabkan sawah menjadi kekurangan air.
(A) (C)


Dalam proses penalaran, “akibat-akibat”, peristiwa “sungai kering (B)” merupakan data, dan “sawah menjadi kering (C)” merupakan simpulan. Jadi, karena sungai kering sawah menjadi kekurangan air.

2.2.4 Klasifikasi
Klasifikasi adalah pengelompokan yang sistematis dari pada sejumlah obyek, gagasan, buku atau benda-benda lain ke dalam kelas atau golongan tertentu berdasarkan ciri-ciri yang sama 


Macam – macam klasifikasi :
1. Klasifikasi Artifisial 
Sistem ini adalah mengelompokan bahan pustaka berdasarkan ciri atau sifat-sifat lainnya, misal pengelompokan menurut pengarang, atau berdasarkan ciri fisiknya, misalnya ukuran, warna sampul, dan sebagainya. 
2. Klasifikasi Utility 
Pengelompokan bahan pustaka dibedakan berdasarkan kegunaan dan jenisnya. Misal, buku bacaan anak dibedakan dengan bacaan dewasa. Buku pegangan siswa di sekolah dibedakan dengan buku pegangan guru. Buku koleksi referens dibedakan dengan koleksi sirkulasi (berdasar kegunaannya). 
3. Klasifikasi fundamental 
Pengelompokan bahan pustaka berdasarkan ciri subyek atau isi pokok persoalan yang dibahas dalam suatu buku. Pengelompokan bahan pustaka berdasarkan sistem ini mempunyai beberapa keuntungan, diantaranya: 
a. Bahan pustaka yang subyeknya sama atau hampir sama, letaknya berdekatan. 
b. Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menilai koleksi yang dimiliki dengan melihat subyek mana yang lemah dan mana yang kuat. 
c. Memudahkan pemakai dalam menelusur informasi menurut subyeknya. 
d. Memudahkan pembuatan bibliografi menurut pokok masalah. 
e. Untuk membantu penyiangan atau weeding koleksi.
Kasifikasi fundamental banyak digunakan oleh perpustakaan besar maupun kecil. Dalam sistem tersebut buku dikelompokan berdasarkan subyek, sehingga memudahkan pemakai dalam menelusur suatu informasi.


2.3 Berpikir Secara Deduktif
Penalaran Deduktif atau Berpikir secara deduktif adalah suatu penalaran yang berpangkal pada suatu peristiwa umum, yang kebenarannya telah diketahui atau diyakini, dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat lebih khusus.


Metode ini diawali dari pembentukan
· Teori, hipotesis,
· Definisi operasional,
· Instrumen dan
· Operasionalisasi.
Dengan kata lain, untuk memahami suatu gejala terlebih dahulu harus memiliki konsep dan teori tentang gejala tersebut dan selanjutnya dilakukan penelitian dilapangan. Dengan demikian konteks penalaran deduktif tersebut, konsep dan teori merupakankata kunci untuk memahami suatu gejala.
Penalaran deduktif didasarkan atas prinsip, hukum, teori atau putusan lain yang berlaku umum untuk suatu hal ataupun gejala. Berdasarkan atas prinsip umum tersebut ditarik kesimpulan tentang sesuatu yang khusus yang merupakan abgian dari hal atau gejala diatas. Dengan kata lain, penalaran deduktif bergerak dari sesuatu yang umum kepada yang khusus.
Dalam penalaran, proposisi yang dijadikan dasar penyimpulan disebut dengan premis (antesedens) dan hasil kesimpulannya disebut denganconsequence (konklusi).
Metode berpikir deduktif adalah metode berpikir yang menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu untuk seterusnya dihubungkan dalam bagian-bagiannya yang khusus.
Contoh:
Masyarakat Indonesia konsumtif (umum) dikarenakan adanya perubahan arti sebuah kesuksesan (khusus) dan kegiatan imitasi (khusus) dari media-media hiburan yang menampilkan gaya hidup konsumtif sebagai prestasi sosial dan penanda status sosial.
2.3.1 Pengertian Premis Mayor dan Premis Minor
Premis mayor adalah pernyataan umum, sementara premis minor artinya pernyataan khusus. Proses itu dikenal dengan istilah silogisme. Silogisme merupakan proses penalaran di mana dari dua proposisi (sebagai premis) ditarik suatu proposisi baru (berupa konklusi).
Misalnya : "Semua orang akhirnya akan mati" (premis mayor).
Hasan adalah orang (premis minor).
Oleh karena itu, "Hasan akhirnya juga akan mati" (kesimpulan).
Jadi, berfikir deduktif adalah berfikir dari yang umum ke yang khusus. Dari yang abstrak ke yang konkrit. Dari teori ke fakta-fakta.



2.3.2 Jenis Berpikir Deduktif

Jenis Berpikir deduktif yang menarik kesimpulan secara tidak langsung yaitu:

1. Silogisme Kategorial :
Silogisme yang terjadi dari tiga proposisi. Silogisme kategorial disusun berdasarkan klasifikasi premis dan kesimpulan yang kategoris. Konditional hipotesis yaitu : bila premis minornya membenarkan anteseden, simpulannya membenarkan konsekuen. Bila minornya Menolak anteseden, simpulannya juga menolak konsekuen. Premis yang mengandung predikat dalam kesimpulan disebut premis mayor, sedangkan premis yang mengandung subjek dalam kesimpulan disebut premis minor.
Contoh :
Premis Mayor : Tidak ada manusia yang abadi
Premis Minor : Socrates adalah manusia
Kesimpulan : Socrates tidak abadi

v Hukum-hukum Silogisme Katagorik
Apabila dalam satu premis partikular, kesimpulan harus parti¬kular juga, seperti:
Semua yang halal dimakan menyehatkan
Sebagian makanan tidak menyehatkan,
Jadi Sebagian makanan tidak halal dimakan
(Kesimpulan tidak boleh: Semua makanan tidak halaldimakan).
v Kaedah- kaedah dalam silogisme kategorial adalah :
1. Silogisme harus terdiri atas tiga term yaitu : term mayor, term minor, term penengah.
2. Silogisme terdiri atas tiga proposisi yaitu premis mayor, premis minor, dan kesimpulan
3. Dua premis yang negatif tidak dapat menghasilkan simpulan.
4. Bila salah satu premisnya negatif, simpulan pasti negative.
5. Dari premis yang positif, akan dihasilkan simpulan yang positif.
6. Dari dua premis yang khusus tidak dapat ditarik satu simpulan.
7. Bila premisnya khusus, simpulan akan bersifat khusus.
8. Dari premis mayor khusus dan premis minor negatif tidak dapat ditarik satu simpulan.

2. Silogisme Hipotesis

Silogisme yang terdiri atas premis mayor yang berproposisi konditional hipotesis. Menurut Parera (1991: 131) Silogisme hipotesis terdiri atas premis mayor, premis minor, dan kesimpulan. Akan tetapi premis mayor bersifat hipotesis atau pengadaian dengan jika … konklusi tertentu itu terjadi, maka kondisi yang lain akan menyusul terjadi. Premis minor menyatakan kondisi pertama terjadi atau tidak terjadi.
Ada 4 (empat) macam tipe silogisme hipotesis:
1. Silogisme hipotesis yang premis minornya mengakui bagian antecedent, seperti:
Jika hujan, saya naik becak.
Sekarang hujan.
Jadi saya naik becak.
2. Silogisme hipotesis yang premis minornya mengakui bagiar konsekuennya, seperti:
Bila hujan, bumi akan basah.
Sekarang bumi telah basah.
Jadi hujan telah turun.
3. Silogisme hipotesis yang premis minornya mengingkari antecedent, seperti:
Jika politik pemerintah dilaksanakan dengan paksa, maka kegelisahan akan timbul. Politik pemerintahan tidak dilaksanakan dengan paksa, Jadi kegelisahan tidak akan timbul.
4. Silogisme hipotetik yang premis minornya mengingkari bagian konsekuennya, seperti:
Bila mahasiswa turun ke jalanan, pihak penguasa akan gelisah Pihak penguasa tidak gelisah. Jadi mahasiswa tidak turun ke jalanan.
v Kaedah- kaedah Silogisme Hipotesis
Mengambil konklusi dari silogisme hipotesis jauh lebih mudah dibanding dengan silogisme kategorik. Tetapi yang penting di sini adalah menentukan kebenaran konklusinya bila premis-premisnya merupakan pernyataan yang benar.
Bila antecedent kita lambangkan dengan A dan konsekuen dengan B, jadwal hukum silogisme hipotetik adalah:
1. Bila A terlaksana maka B juga terlaksana.
2. Bila A tidak terlaksana maka B tidak terlaksana. (tidak sah = salah)
3. Bila B terlaksana, maka A terlaksana. (tidak sah = salah)
4. Bila B tidak terlaksana maka A tidak terlaksana
Contoh :
a. Premis Mayor: Jika tidak turun hujan, maka panen akan gagal
Premis Minor: Hujan tidak turun
Konklusi : Sebab itu panen akan gagal.
b. Premis Mayor : Jika tidak ada air, manusia akan kehausan.
Premis Minor : Air tidak ada.
Kesimpulan : Manusia akan kehausan.
3. Silogisme Akternatif :
Silogisme yang terdiri atas premis mayor berupa proposisi alternatif. Proposisi alternatif yaitu bila premis minornya membenarkan salah satu alternatifnya. Simpulannya akan menolak alternatif yang lain. Proposisi minornya adalah proposisi kategorial yang menerima atau menolak salah satu alternatifnya. Konklusi tergantung dari premis minornya.
Silogisme ini ada dua macam, silogisme disyungtif dalam arti sempit dan silogisme disyungtif dalam arti luas. Silogisme disyungtif dalam arti sempit mayornya mempunyai alternatif kontradiktif, seperti:
la lulus atau tidak lulus.
Ternyata ia lulus
Jadi, la bukan tidak lulus
Silogisme disyungtif dalam arti luas premis mayomya mempunyai alternatif bukan kontradiktif, seperti:
Xsa di rumah atau di pasar.
Ternyata tidak di rumah.
Jadi, di pasar
Silogisme disyungtif dalam arti sempit maupun arti iuas mempunyai dua tipe yaitu:

1. Premis minornya mengingkari salah satu alternatif, konklusi-nya adalah mengakui alternatif yang lain.

2. Premis minor mengakui salah satu alternatif, kesimpulannya adalah mengingkari alternatif yang lain.
v Kaedah-kaedah silogisme alternatif :

1. Silogisme disyungtif dalam arti sempit, konklusi yang dihasilkan selalu benar, apabila prosedur penyimpulannya valid

2. Silogisme disyungtif dalam arti luas, kebenaran koi adalah sebagai berikut:
a. Bila premis minor mengakui salah satu alterna konklusinya sah (benar)
Contoh : Rizki menjadi guru atau pelaut.
la adalah guru.
Jadi bukan pelaut
Rizki menjadi guru atau pelaut.
la adalah pelaut.
Jadi bukan guru
b. Bila premis minor mengingkari salah satu alterna konklusinya tidak sah (salah)
Contoh : Penjahat itu lari ke Surabaya atau ke Yogya.
Ternyata tidak lari ke Yogya.
Jadi ia lari ke Surabaya. (Bisa jadi ia lari ke kota lain).
Rifki menjadi guru atau pelaut.
Ternyata ia bukan pelaut.
Jadi ia guru. (Bisa jadi ia seorang pedagang)

Contoh :
Premis Mayor : Nenek Sumi berada di Bandung atau Bogor.
Premis Minor : Nenek Sumi berada di Bandung.
Kesimpulan : Jadi, Nenek Sumi tidak berada di Bogor.

4. Entimen
Silogisme ini jarang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam tulisan maupun tulisan. Yang dikemukakan hanya premis minor dan kesimpulan.
Entimen atau Enthymeme berasal dari bahasa Yunani “en” artinya di dalam dan “thymos” artinya pikiran adalah sejenis silogisme yang tidak lengkap, tidak untuk menghasilkan pembuktian ilmiah, tetapi untuk menimbulkan keyakinan dalam sebuah entimem, penghilangan bagian dari argumen karena diasumsikan dalam penggunaan yang lebih luas, istilah "enthymeme" kadang-kadang digunakan untuk menjelaskan argumen yang tidak lengkap dari bentuk selain silogisme.
Menurut Aristoteles yang ditulis dalam Retorika, sebuah "retorik silogisme" adalah bertujuan untuk pembujukan yang berdasarkan kemungkinan komunikan berpendapat sedangkan teknik bertujuan untuk pada demonstrasi. Kata lainnya, entimem merupakan silogisme yang diperpendek.
Contoh :
Rumus Entimen:
PU : Semua A = B : Pegawai yang baik tidak pernah datang terlambat.
PK : Nyoman pegawai yang baik.
S : Nyoman tidak pernah datang terlambat
Entimen : Nyoman tidak pernah datang terlambat karena ia pegawai yang baik
v Beberapa ciri utama dari penalaran deduktif, yaitu :
1. Jika semua premis benar maka kesimpulan pasti benar
2. Semua informasi atau fakta pada kesimpulan sudah ada, sekurangnya secara implisit, dalam premis.






5. Salah Nalar
Salah nalar (fallacy) ialah gagasan, pikiran atau simpulan yang keliru atau sesat. Salah nalar terjadi karena kita tidak mengikuti tata cara pemikiran dengan tepat. Telaah atas kesalahan itu akan macam salah nalar, yaitu :

1. Deduksi yang salah
Salah nalar akibat deduksi yang salah amat sering dilakukan orang. Hal ini terjadi akibat simpulan simpulan yang salah dalam silogisme yang berpremis salah atau yang premisnya tidak 
Misalnya : Pengiriman manusia ke bulan hanyalah penghamburan. (premisnya : semua eksperimen ke angkasa luar hanyalah penghamburan)
2. Generalisasi yang terlalu luas
Salah nalar ini terjadi karena jumlah premis yang terbatas tidak memadai. Harus dicatat bahwa kadang-kadang premis yang terbatas mengizinkan generalisasi yang sahih.
Misalnya : Orang Indonesia malas tetapi ramah. ( Orang Indonesia ada yang malas ada juga yang ramah).
3. Pemikiran “atau ini, atau itu”
Misalnya : Petani harus bersekolah supaya terampil. (Apakah untuk menjadi terampil kita selalu harus bersekolah? )
4. Salah nalar atas penyebabnya
Generalisasi induktif sering disusun berdasarkan pengamatan sebab dan akibat, tetapi kita kadang-kadang tidak menilai dengan tepat sebab suatu peristiwa atau hasil kejadian. Khususnya dalam hal yang menyangkut manusia, penentuan sebab dan akibat sifatnya sulit. Salah nalar atas penyebab yang lazim terjadi ialah salah nalar yang disebut post hoc dan ergo propter hoc (sesudah itu dan maka karena itu).
Misalnya : Swie King menjadi juara karena doa kita. (Lawan Swie King tentu juga didoakan oleh para pendukungnya).
5. Analogi yang salah
Analogi adalah usaha perbandingan dan merupakan upaya yang berguna untuk mengembangkan penalaran. Namun, analogi tidak membuktikan apa-apadan analogi yang salah dapat menyesatkan karena logikanya salah.
Misalnya : Rektor harus memimpin unuversitas seperti jendral memimpin divisi. (Universitas itu bukan tentara dengan disiplin tentara).



6. Penyimpangan masalah
Salah nalar disini terjadi jika argumentasi tidak mengenai pokok, atau jika kita menukar pokok masalah dengan pokok masalah yang lain, ataupun jika kita menyimpang dari garis masalah.
Misalnya : Program kelurga berencana tidak perlu karena tanah di Kalimantan masih kosong. (Manusia tidak bisa hidup dengan hanya memilikitanah).
7. Pembenaran masalah lewat pokok sampingan
Salah nalar disini muncul jika argumentasi menggunakan pokok yang tidak langsung berkaitan, untuk membenarkan pendiriannya. Misalnya orang merasa kesalahannya dapat dibenarkan karena lawannya juga berbuat salah.
Misalnya : Saya boleh berkorupsi karena orang lain berkorupsi juga. (Korupsi dihalalkan karena banyaknay korupsi dimana-mana).
8. Argumentasi ad hominem
Salah nalar ini terjadi jika kita dalam argumentasi melawan orangnya dan bukan persoalannya. Khususnya dibidang politik, argumentasi jenis ini banyak dipakai.
Misalnya : Ia tidak mungkin seorang pemimpin yang baik karena kekayaannya berlimpah. (Yang dipersoalkan bukanlah kepemimpinannya).
9. Imbauan pada keahlian yang disangsikan
Dalam pembahasan masalah, orang sering mengandalkan wibawa kalangan ahli untuk memperkuat argumentasinya. Mengutip pendapat seorang ahli sangat berguna walaupun kutipan itu tidak dapat membuktikan secara mutlak kebenaran pokok masalah. Misalnya, kita mengutip pendapat bintang film tentang pengembangan demokrasi.
10. Non sequitur
Dalam argumentasi, salah nalar ini mengambil simpulan berdasarkan premis yang tidak, atau hampir tidak ada sangkut pautnya sama sekali.
Misalnya : Partai Rakyat Madani paling banyak cendekiawannya; karena itu usul-usulnya paling bermutu. (Tidak ada korelasi antara kecendekiaan dan kepandaian merumuskan usul).

2.4 Prinsip-Prinsip Penalaran

Istilah “prinsip” sering diartikan dengan “kaidah” atau “hukum”, adapun yang dimaksudkan adalah suatu pernyataan yang mengandung kebenaran universal, yaitu kebenarannya tidak terbatas oleh ruang dan waktu, di mana saja dan kapan saja dapat digunakan.
Suatu prinsip, jika tidak membutuhkan suatu pembuktian, yang jelas dengan sendirinya, karena terlalu sederhana, maka prinsip itu disebut dengan “aksioma” atau “prinsip dasar”. Dengan demikian aksioma atau prinsip dasar dapat didefinisikan: suatu pernyataan mengandung kebenaran universal yang kebenarannya itu sudah terbukti dengan sendirinya, atau dirumuskan juga, suatu hal yang diterimanya sebagai kenyataan yang bersifat universal. Sebagai contoh misalnya salah satu aksioma Euklidus (seorang tokoh Geometrika Iskandariah sekitar tahun 300 SM) : “Suatu keseluruhan lebih besar daripada sebagian”. Pernyataan ini jelas dengan sendirinya, lansung dapat dimengerti tidak perlu membutuhkan hal-hal lain untuk membuktikan kebenarannya.
Aksioma atau prinsip dasar, setiap ilmu pengetahuan berbeda-beda, namun demikian ada juga suatu aksioma dari suatu ilmu digunakan juga sebagai aksioma bagi ilmu yang lain. Demikian juga prinsip dalam logika yang akan diuraikan ada kemungkinan digunakan oleh ilmu lain. Prinsip dasar dalam logika sering disebut dengan “prinsip penalaran”, dan ada juga yang menyebutnya dengan “prinsip-prinsip pemikiran”. Adapun penggunaannya lansung berhubungan dengan menetapkan pernyataan. Oleh karena itu sebenarnya tepat jika dikatakan “prinsip dasar pernyataan”.
Prinsip dasar pernyataan ini hanya ada tiga prinsip, yang mengemukakan pertama-kali adalah Aristoteles (384-322), adapun prinsip kedua mengalami penyempurnaan dalam menyatakan dan tanpa merobah makna yang dimaksudkannya, yaitu : prinsip identitas, prinsip non kontradiksi, dan prinsip eksklusi tertii. Ketiga prinsip ini diuraikan secara terperinci sebagai berikut :

1. Prinsip identitas
Prinsip ini dalam istilah latin ialah principium identitatis (law of identity), merupakan dasar dari semua penalaran, sifatnya langsung analitis dan jelas dengan sendirinya, tidak membutuhkan pembuktian. Prinsip identitas berbunyi : “sesuatu hal adalah sama halnya sendiri”, dengan kata lain : “sesuatu yang disebut p maka sama dengan p yang dinyatakan itu sendiri bukan yang lain”. Secara simbolik dirumuskan sebagai berikut :
(p <=> p) dibaca : p adalah identik
P itu sendiri.
Sesuatu x yang disebut sebagai p adalah identik dengan p itu sendiri
Prinsip ini menyatakan bahwa sesuatu benda adalah benda itu sendiri, tidak mungkin yang lain. Dan selanjutnya dalam suatu perbincangan, jika sesuatu hal diartikan sesuatu p tertentu maka selama perbincagan itu masih berlangsung tidak boleh diartikan selain p, dalam arti harus tetap sama dengan arti yang diberikan semula. Atau dengan rumuan lain, pengakuan bahwa benda ini adalah benda ini bukan benda lain, dan bahwa benda itu adalah benda itu bukan benda yang lain.

2. Prinsip non Kontradiksi 
Prinsip ini dalam istilah latin ditulis principium contradictionis (law of contrediction), yakni prinsip kontradiksi. Penyebutan prinsip kontradiksi ini adalah tidak tepat, karena yang dimasudkan adalah tidak adanya kontradiksi dalam suatu pernyataan, Prinsip non kontradiksi berbunyi : sesuatu tidak dapat sekaligus merupakan hal itu dan bukan hal itu pada waktu yang bersamaan”, atau “sesuatu pernyataan tidak mungkin mempunyai nilai benar dan tidak benar pada saat yang sama”. Dengan kata lain : ‘sesuatu tidaklah mungkin secara bersamaan merupakan p dan non p”. Secara simbolik dirumuskan sebagai berikut :
- (p ˄ -p) dibaca : tidaklah demikian halnya bahwa p dan non p bersamaan.
Sesuatu x jika merupakan anggota p jelaslah tidak mungkin sekaligus anggota non p. Yang dimaksudkan dengan prinsip ini ialah bahwa dua sifat yang berlawanan penuh (secara mutlak) tidak mungkin ada pada suatu benda dalam waktu dan tempat yang sama. Kita misalkan suatu pernyataan : badan benda x ini hidup dan tidak hidup. Kedua term yang sebagai sifat untuk badan benda x itu tidak mungkin diterima kedua-duanya dalam saat yang sama, walaupun benda x itu dapat dibenarkan pada suatu saat hidup dan pada saat yang lain tidak hidup, namun tidak mungkin keduanya bersamaan waktu.

3. Prinsip eksklusi tertii :
Prinsip ini dalam istilah Latin ialah principium exclusi tertii (law of excluded middle), yakni prinsip penyisihan jalan tengah atau prinsip tidak adanya kemungkinan ketiga. Prinsip eksklusi tertii berbunyi : “sesuatu jika dinyatakan sebagai hal tertentu atau bukan hal tertentu maka tidak ada kemungkinan ketiga yang merupakan jalan tengah” dengan kata lain : sesuatu x mestilah “p” atau “non p” sekaligus, atau juga “non p” dan “non-non p” bersamaan, hal ini tidak mungkin, berdasarkan prinsip non kontradiksi. Prinsip ini secara simbolik dirumuskan sebagai berikut :
(p V –p) dibaca ; sesuatu mestilah p atau non p.
Sesuatu x hanya sebagai anggota p atau anggota non p.
Arti dari prinsip ini ialah bahwa dua sifat yang berlawanan penuh (secara mutlak) tidak mungkin kedua-duanya dimiliki oleh suatu benda, mestilah hanya salah satu yang dapat dimilikinya, sifat p atau non p. Atau dengan kata lain bahwa salah satu dari dua sifat yang berlawanan penuh mestilah benar bagi salah satu dan tidak benar bagi yang lain, tidak mungkin keduanya benar atau tidak mungkin keduanya salah, misal :benda hidup x ini manusia atau bukan manusia. Jika dinyatakan sebagai manusia dinilai benar, berarti sesuai dengan kenyataan, maka bukan manusia adalah salah, karena jelas tidak sesuai dengan kenyataannya, atau sebaliknya, dinyatakan sebagai manusia dinilai salah, maka bukan manusia adalah benar, tidak ada kemungkinan ketiga, yaitu keduanya benar atau keduanya salah pada satu benda.
Disamping tiga prinsip yang dikemukakan oleh Aristoteles di atas, seorang filsuf Jerman Gottfried Wilhelm von Leibniz (1646-1716) menambah satu prinsip yang merupakan pelengkap atau tambahan bagi prinsip identitas, yaitu :
4. Prinsip cukup alasan

Prinsip ini dalam istilah Latin disebut dengan principium rationis sufficientis (law of sufficient reason), yang berbunyi : “suatu perubahan yang terjadi pada sesuatu hal tertentu mestilah berdasarkan alasan yang cukup, tidak mungkin tiba-tiba berubah tanpa sebab-sebab yang mencukupi”. Dengan kata lain : “Adanya sesuatu itu mestilah mempunyai alasan yang cukup, demikian pula jika ada perubahan pada keadaan sesuatu”, misal : jika suatu benda jatuh ke tanah, alasannya ialah karena adanya daya tarik bumi, sedangkan benda itu tidak ada yang menahannya. Prinsip cukup alasan ini dinyatakan sebagai tambahan bagi prinsip identitas karena secara tidak langsung menyatakan bahwa sesuatu benda mestilah tetap tidak berubah, artinya tetap sebagaimana benda itu sendiri, tetapi jika kebetulan terjadi suatu perubahan, maka perubahan itu mestilah ada sesuatu yang mendahuluinya sebagai penyebab perubahan itu.























BAB III
KESIMPULAN


3.1 Kesimpulan


Logika artinya bernalar; penalaran (reasoning) adalah proses mengambil simpulan (conclusion) dari bahan bukti atau petunjuk (evidence) yang ada. Secara umum ada dua jalan untuk mengambil simpulan dalam penalaran, yakni lewat penalaran induktif dan penalaran deduktif. Deduktif dan induktif berkaitan dengan logika atau penalaran. Cara menarik simpulan bisa dilakukan dengan dua cara, yakni penarikan simpulan secara langsung dan penarikan simpulan secara tidak langsung. Salah nalar (fallacy) ialah gagasan, perkiraan atau simpulan yang keliru atau sesat. Salah nalar terjadi karena kita tidakmengikuti tata carapemikiran dengan tepat. Telaah atas kesalahan itu membantu kita menemukan logika yang tidak masuk akal dalam tulisan atau karangan.























DAFTAR PUSTAKA


http://jeffy-louis.blogspot.com/2011/01/unsur-unsur-penalaran.html
http://ilhamkons.wordpress.com/2011/12/30/penalaran/
http://rinmichiyo.blogspot.com/2013/09/makalah-penalaran.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar