MAKALAH PENALARAN, BERPIKIR DEDUKTIF DAN BERPIKIR INDUKTIF.
Nama : Gilang Wisesha
NPM : 13110005
Kelas : 3KA36
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penalaran atau reasoning merupakan suatu
konsep yang paling umum menunjuk pada salah satu proses pemikiran untuk sampai
pada suatu kesimpuan sebagai pernyataan baru dari beberapa pernyataan lain yang
telah diketahui. Dalam pernyataan-pernyataan itu terdiri dari
pengertia-pengertian sebagai unsurnya yang antara pengertian satu dengan yang
lain ada batas-batas tertentu untuk menghindarkan kekabutan arti.
Unsur-unsur di sini bukan merupakan
bagian-bagian yang menyusun suatu penalaran tetapi merupakan hal-hal sebagai
prinsip yang harus diketahui terlebih dahulu, karena penalaran adalah suatu
proses yang sifatnya dinamis tergantung pada pangkal pikirnya. Unsur-unsur
penalaran yang dimaksudkan adalah tentang pengertian, karena pengertian ini
merupakan dasar dari semua bentuk penalaran. Untuk mendapatkan pengertian
sesuatu dengan baik sering juga dibutuhkan suatu analisa dalam bentuk
pemecah-belahan sesuatu pengertian umum ke pengertian yang menyusunnya, hal ini
secara teknis disebut dengan istilah pembagian.
Dan selanjutnya diadakan pembatasan arti
atau definisi. Mendefinisikan sesuatu masalah bukanlah hal yang berlebihan,
tetapi untuk memperjelas sebagai titik tolak penalaran, sehingga kekaburan arti
dapat dihindarkan. Definisi dan pembagian merupakan dua hal yang saling
melengkapi. Untuk mendapatkan definisi yang baik sering membutuhkan suatu
pembagian. Demikian juga untuk memudahkan mengadakan pembagian, suatu definisi
sering juga dibutuhkan.
Dalam proses pemikiran yang berbentuk
penalaran, antara pengertian satu dengan yang lain dapat dihubungkan dan
seterusnya diungkapkan dalam bentuk kalimat, dan kalimat ini ada yang disebut
kalimat tertutup atau disebut juga dengan pernyataan. Dan pernyataan inilah
merupakan bentuk terakhir yang akan di perbandingkan dalam penalaran. Oleh
karena itu, dalam bab ini sebagai awal pembicaraan logika akan diuraikan
berturut-turut tentang pengertian dan term, pembagian dan definisi, serta
tentang pernyataan dan penalaran.
1.2 Permasalahan
1.2.1 Apa prinsip dan unsur penalaran ?
1.2.2 Apa itu penalaran induktif dan deduktif ?
1.2.3 Bagaimana cara menyusun definisi ?
1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui prinsip dan unsur penalaran.
1.3.2 Mengetahui penalaran induktif dan dedutif.
1.3.3 Mengetahui cara menyusun definisi.
BAB II
TEORI DAN PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Penalaran
Penalaran adalah bentuk tertinggi dari
pemikiran, oleh sebab itu penalaran lebih rumit dibanding pengertian proposisi.
Hakikat penalaran terlahir dari tutur bahasa makhluk yang berpikir. Secara
sederhana penalaran dapat didefinisikan sebagai proses pengambilan kesimpulan
berdasarkan proposisi-proposisi yang mendahuluinya.
Kalimat pernyataan yang dapat dipergunakan
sebagai data itu disebut proposisi. Sebelum kita mengetahui apa itu proposisi,
terlebih dahulu kita harus mengetahui apa yang dimaksud term. Term adalah suatu
kata atau kelompok kata yang menempati subjek (S) dan predikat (P). Tidak semua
kata adalah term, meskipun setiap term itu adalah kata atau kumpulan kata.
Contohnya :
Orang tua asuh, pecinta alam, binatang, dll.
Adapun pengertian dari proposisi adalah
kalimat logika yang merupakan pernyataan antara dua atau beberapa hal yang
dapat dinilai benar atau salah. Proposisi merupakan suatu kegiatan rohani, baik
menyuguhkan atau mengingkari.
Contohnya :
Proposisi yang menyuguhkan “ semua orang negro berkulit hitam “ dan
proposisi yang mengingkarinya “tidak semua orang negro berkulit hitam”.
Jadi, penlaran adalah proses berfikir yang
sistematik untuk memperoleh sebuah kesimpulan berupa pengetahuan. Penalaran
juga merupakan proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (pengamatan
empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Berdasarkan pengamatan
yang sejenis juga akan terbentuk proposisi-proposisi yang sejenis. Dan
berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap benar, orang
menyimpulkan sebuah proposisi baru yang sebelumnya tidak diketahui. Proses
inilah yang disebut dengan menalar. Dalam penalaran, proposisi yang dijadikan
dasar penyimpulan disebut premis entesedens) dan hasil kesimpulannya disebut
konklusi (consequence).
Dan hubungan antara premis dan konklusi
disebut konsekuensi. Kegiatan penalaran mungkin bersifat ilmiah atau tidak
ilmiah. Dari prosesnya, penalaran itu dapat dibedakan sebagai penalaran
induktif dan penalaran deduktif. Penalaran ilmiah mencakup kedua proses
penalaran itu.
2.Berpikir Secara Induktif
Penalaran induktif atau berpikir Induktif
adalah proses penalaran untuk menarik kesimpulan berupa prinsip atau sifat yang
berlaku umum berdasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus, prosesnya
disebut induksi.
Contoh:
Suatu lembaga kanker di Amerika melakukan studi tentang hubungan antara
kebiasaan merokok dengan kematian. Antara tanggal 1 Januari dan 31 Mei 1952
terdaftar 187.783 laki-laki yang berumur antara 50 sampai dengan 69 tahun.
Kepada mereka dikemukakan pertanyaan-pertanyaan tentang kebiasaan merokok
mereka pada masa lalu dan masa sekarang. Selanjutnya keadaan mereka diikuti
ters menerus selama 44 bulan. Berdasarkan surat kematian dan keterangan medis
tentang penyebab kematiannya, diperoleh data bahwa diantara 11.870 kematian
yang dilaporkan 2.249 disebabkan kanker.
Dari seluruh jumlah kematian yang terjadi
(baik yang merokok maupun yang tidak) ternyata angka kematian dikalangan
pengisap rokok tetap jauh lebih tinggi daripada yang tidak pernah merokok,
sedangkn jumlah kematian penghisap pipa dan cerutu tidak banyak berbeda dengan
jumlah kematian yang tidak pernah merokok.
Dari bukti-bukti yang terkumpul dapatlah
dikemukakan bahwa asap tembakau memberikan pengaruh yang buruk dan memperpendek
umur mnusia. Cara yang paling sederhana untuk menghindari kemungkinan itu ialah
dengan tidak merokok sama sekali.
Hukum yang disimpulkan difenomena yang diselidiki berlaku bagi fenomena
sejenis yang belum diteliti. Beberapa bentuk penalaran induktif adalah sebagai
berikut :
2.2.1 Generalisasi
Ganeralisasi adalah suatu proses penalaran
yang bertolak dari sejumlah fenomena individual (khusus) menuju kesimpulan umum
yang mengikat seluruh fenomena sejenis dengan fenomena individual yang
diselidiki.
Macam-macam generalisasi :
a. Generalisasi sempurna
Generalisasi sempurna adalah generalisasi dimana seluruh fenomena yang
menjadi dasar penyimpulan diselidiki.
Contohnya, setelah kita memperhatikan jumlah hari pada setiap bulan tahun
Masehi kemudian disimpulkan bahwa :
Semua bulan Masehi mempunyai hari tidak lebih dari 31. Dari penyimpulan
ini, keseluruhan fenomena yaitu jumlah hari pada setiap bulan kita selidiki
tanpa ada yang kita tinggalkan. Generalisasi macam ini memberikan kesimpulan
amat kuat dan tidak dapat diserang. Tetapi tentu saja tidak praktis dan tidak
ekonomis.
b. Generalisasi tidak sempurna
Generalisasi tidak sempurna yaitu generalisasi berdasarkan sebagian
fenomena untuk mendapatkan kesimpulan yang berlaku bagi fenomena sejenis yang
belum diselidiki.
Contohnya, setelah kita menyelidiki sebagian bangsa indonesia, ternyata
mereka adalah manusia yang suka bergotong-royong, maka penyimpulan ini adalah
generalisasi tidak sempurna.
Sah atau tidaknya sebuah simpulan dari generalisasi itu dapat dilihat dari
hal-hal berikut :
a. Data itu harus memadai jumlahnya. Semakin banyak data yang
didapat atau dikumpulkan, makin sah pula simpulan yang diperoleh
b. Data itu harus mewakili keseluruhan. Dari data yang sama itu akan
dihasilkan simpulan yang sah.
c. Pengecualian perlu diperhitungkan karena data-data yang mempunyai
sifat khusus tidak dapat dijadikan data.
2.2.2 Analogi
Analogi adalah suatu perbandingan yang
mencoba membuat suatu gagasan terlihat benar dengan cara membandingkannya
dengan gagasan lain yang mempunyai hubungan dengan gagasan yang pertama. Dengan
kata lain, penalaran analogi dapat diartikan sebagai proses penyimpulan
berdasarkan fakta atau kesamaan atau proses membandingkan dari dua peristiwa
(hal) yang berlainan berdasarkan kesamaannya kemudian ditariklah kesimpulan
dari persamaannya tersebut.
Jenis – Jenis Analogi :
a. Analogi Induktif
Analogi induktif, yaitu analogi yang disusun berdasarkan persamaan yang ada
pada dua fenomena, kemudian ditarik kesimpulan bahwa apa yang ada pada fenomena
pertama terjadi juga pada fenomena kedua. Analogi induktif merupakan suatu
metode yang sangat bermanfaat untuk membuat suatu kesimpulan yang dapat
diterima berdasarkan pada persamaan yang terbukti terdapat pada dua barang
khusus yang diperbandingkan.
Contoh analogi induktif :
Club Persija Jakarta mampu masuk babak final karena berlatih setiap hari.
Maka Club Persib Bandung akan masuk babak final jika berlatih setiap hari.
b. Analogi Deklaratif
Analogi deklaratif merupakan metode untuk menjelaskan atau menegaskan
sesuatu yang belum dikenal atau masih samar, dengan sesuatu yang sudah dikenal.
Cara ini sangat bermanfaat karena ide-ide baru menjadi dikenal atau dapat
diterima apabila dihubungkan dengan hal-hal yang sudah kita ketahui atau kita
percayai.
Contoh analogi deklaratif :
Deklaratif untuk penyelenggaraan negara yang baik diperlukan sinergitas
antara kepala negara dengan warga negaranya. Sebagaimana manusia, untuk
mewujudkan perbuatan yang benar diperlukan sinergitas antara akal dan hati.
2.2.3 Hubungan Klausal
Hubungan klausal adalah cara penalaran
yang diperoleh dari peristiwa-peristiwa yang memiliki pola hubungan atau saling
berhubungan satu sama lain. Yaitu salah satu variable (independen) mempengaruhi
variable yang lain (dependen). Dalam kaitannya dengan hubungan klausal ini, ada
tiga hubungan antarmasalah, yaitu sebagai berikut:
a. Hubungan sebab-akibat
Hubungan sebab-akibat ini berpola A menyebabkan B. Namun juga bisa berpola
A menyebabkan C atau menyebabkan D, dan seterusnya.
Contohnya :
Kemarin Budi tidak dapat mengerjakan soal ujian. Hari ini pengumuman nilai
ujian dan Budi mendapatkan nilai yang jelek. Karena itu, Budi pasti tidak
belajar.
b. Hubungan akibat-sebab
Dalam penalaran jenis akibat-sebab ini, peristiwa “sebab” merupakan simpulan.
c. Hubungan akibat-akibat
Hubungan akibat-akibat adalah suatu penalaran yang menyiratkan penyebabnya.
Yaitu peristiwa “akibat” langung disimpulkan pada “akibat” yang lain.
Contohnya :
Kemarau panjang menyebabkan sungai kering.
(A) (B)
Kemarau panjang menyebabkan sawah menjadi kekurangan air.
(A) (C)
Dalam proses penalaran, “akibat-akibat”, peristiwa “sungai kering (B)”
merupakan data, dan “sawah menjadi kering (C)” merupakan simpulan. Jadi, karena
sungai kering sawah menjadi kekurangan air.
2.2.4 Klasifikasi
Klasifikasi adalah pengelompokan yang
sistematis dari pada sejumlah obyek, gagasan, buku atau benda-benda lain ke
dalam kelas atau golongan tertentu berdasarkan ciri-ciri yang sama
Macam – macam klasifikasi :
1. Klasifikasi Artifisial
Sistem ini adalah mengelompokan bahan pustaka berdasarkan ciri atau
sifat-sifat lainnya, misal pengelompokan menurut pengarang, atau berdasarkan
ciri fisiknya, misalnya ukuran, warna sampul, dan sebagainya.
2. Klasifikasi Utility
Pengelompokan bahan pustaka dibedakan berdasarkan kegunaan dan jenisnya.
Misal, buku bacaan anak dibedakan dengan bacaan dewasa. Buku pegangan siswa di
sekolah dibedakan dengan buku pegangan guru. Buku koleksi referens dibedakan
dengan koleksi sirkulasi (berdasar kegunaannya).
3. Klasifikasi fundamental
Pengelompokan bahan pustaka berdasarkan ciri subyek atau isi pokok
persoalan yang dibahas dalam suatu buku. Pengelompokan bahan pustaka
berdasarkan sistem ini mempunyai beberapa keuntungan, diantaranya:
a. Bahan pustaka yang subyeknya sama atau hampir sama, letaknya
berdekatan.
b. Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menilai koleksi yang
dimiliki dengan melihat subyek mana yang lemah dan mana yang kuat.
c. Memudahkan pemakai dalam menelusur informasi menurut subyeknya.
d. Memudahkan pembuatan bibliografi menurut pokok masalah.
e. Untuk membantu penyiangan atau weeding koleksi.
Kasifikasi fundamental banyak digunakan oleh perpustakaan besar maupun
kecil. Dalam sistem tersebut buku dikelompokan berdasarkan subyek, sehingga
memudahkan pemakai dalam menelusur suatu informasi.
2.3 Berpikir Secara Deduktif
Penalaran Deduktif atau Berpikir secara deduktif adalah suatu penalaran
yang berpangkal pada suatu peristiwa umum, yang kebenarannya telah diketahui
atau diyakini, dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang
bersifat lebih khusus.
Metode ini diawali dari pembentukan
· Teori, hipotesis,
· Definisi operasional,
· Instrumen dan
· Operasionalisasi.
Dengan kata lain, untuk memahami suatu gejala terlebih dahulu harus
memiliki konsep dan teori tentang gejala tersebut dan selanjutnya dilakukan
penelitian dilapangan. Dengan demikian konteks penalaran deduktif tersebut,
konsep dan teori merupakankata kunci untuk memahami suatu gejala.
Penalaran deduktif didasarkan atas prinsip, hukum, teori atau putusan lain
yang berlaku umum untuk suatu hal ataupun gejala. Berdasarkan atas prinsip umum
tersebut ditarik kesimpulan tentang sesuatu yang khusus yang merupakan abgian
dari hal atau gejala diatas. Dengan kata lain, penalaran deduktif bergerak dari
sesuatu yang umum kepada yang khusus.
Dalam penalaran, proposisi yang dijadikan dasar penyimpulan disebut dengan
premis (antesedens) dan hasil kesimpulannya disebut denganconsequence
(konklusi).
Metode berpikir deduktif adalah metode berpikir yang menerapkan hal-hal
yang umum terlebih dahulu untuk seterusnya dihubungkan dalam bagian-bagiannya
yang khusus.
Contoh:
Masyarakat Indonesia konsumtif (umum) dikarenakan adanya perubahan arti
sebuah kesuksesan (khusus) dan kegiatan imitasi (khusus) dari media-media hiburan
yang menampilkan gaya hidup konsumtif sebagai prestasi sosial dan penanda
status sosial.
2.3.1 Pengertian Premis Mayor dan Premis Minor
Premis mayor adalah pernyataan umum, sementara premis minor artinya
pernyataan khusus. Proses itu dikenal dengan istilah silogisme. Silogisme
merupakan proses penalaran di mana dari dua proposisi (sebagai premis) ditarik
suatu proposisi baru (berupa konklusi).
Misalnya : "Semua orang akhirnya akan mati" (premis mayor).
Hasan adalah orang (premis minor).
Oleh karena itu, "Hasan akhirnya juga akan mati" (kesimpulan).
Jadi, berfikir deduktif adalah berfikir dari yang umum ke yang khusus. Dari
yang abstrak ke yang konkrit. Dari teori ke fakta-fakta.
2.3.2 Jenis Berpikir Deduktif
Jenis Berpikir deduktif yang menarik
kesimpulan secara tidak langsung yaitu:
1. Silogisme Kategorial :
Silogisme yang terjadi dari tiga proposisi. Silogisme kategorial disusun
berdasarkan klasifikasi premis dan kesimpulan yang kategoris. Konditional
hipotesis yaitu : bila premis minornya membenarkan anteseden, simpulannya
membenarkan konsekuen. Bila minornya Menolak anteseden, simpulannya juga
menolak konsekuen. Premis yang mengandung predikat dalam kesimpulan disebut
premis mayor, sedangkan premis yang mengandung subjek dalam kesimpulan disebut
premis minor.
Contoh :
Premis Mayor : Tidak ada manusia yang abadi
Premis Minor : Socrates adalah manusia
Kesimpulan : Socrates tidak abadi
v Hukum-hukum Silogisme Katagorik
Apabila dalam satu premis partikular, kesimpulan harus parti¬kular juga,
seperti:
Semua yang halal dimakan menyehatkan
Sebagian makanan tidak menyehatkan,
Jadi Sebagian makanan tidak halal dimakan
(Kesimpulan tidak boleh: Semua makanan tidak halaldimakan).
v Kaedah- kaedah dalam silogisme kategorial adalah :
1. Silogisme harus terdiri atas tiga term yaitu : term mayor, term minor,
term penengah.
2. Silogisme terdiri atas tiga proposisi yaitu premis mayor, premis minor,
dan kesimpulan
3. Dua premis yang negatif tidak dapat menghasilkan simpulan.
4. Bila salah satu premisnya negatif, simpulan pasti negative.
5. Dari premis yang positif, akan dihasilkan simpulan yang positif.
6. Dari dua premis yang khusus tidak dapat ditarik satu simpulan.
7. Bila premisnya khusus, simpulan akan bersifat khusus.
8. Dari premis mayor khusus dan premis minor negatif tidak dapat ditarik
satu simpulan.
2. Silogisme Hipotesis
Silogisme yang terdiri atas premis mayor
yang berproposisi konditional hipotesis. Menurut Parera (1991: 131) Silogisme
hipotesis terdiri atas premis mayor, premis minor, dan kesimpulan. Akan tetapi
premis mayor bersifat hipotesis atau pengadaian dengan jika … konklusi tertentu
itu terjadi, maka kondisi yang lain akan menyusul terjadi. Premis minor
menyatakan kondisi pertama terjadi atau tidak terjadi.
Ada 4 (empat) macam tipe silogisme hipotesis:
1. Silogisme hipotesis yang premis minornya mengakui bagian antecedent,
seperti:
Jika hujan, saya naik becak.
Sekarang hujan.
Jadi saya naik becak.
2. Silogisme hipotesis yang premis minornya mengakui bagiar konsekuennya,
seperti:
Bila hujan, bumi akan basah.
Sekarang bumi telah basah.
Jadi hujan telah turun.
3. Silogisme hipotesis yang premis minornya mengingkari antecedent,
seperti:
Jika politik pemerintah dilaksanakan dengan paksa, maka kegelisahan akan
timbul. Politik pemerintahan tidak dilaksanakan dengan paksa, Jadi kegelisahan
tidak akan timbul.
4. Silogisme hipotetik yang premis minornya mengingkari bagian
konsekuennya, seperti:
Bila mahasiswa turun ke jalanan, pihak penguasa akan gelisah Pihak penguasa
tidak gelisah. Jadi mahasiswa tidak turun ke jalanan.
v Kaedah- kaedah Silogisme Hipotesis
Mengambil konklusi dari silogisme hipotesis jauh lebih mudah dibanding
dengan silogisme kategorik. Tetapi yang penting di sini adalah menentukan
kebenaran konklusinya bila premis-premisnya merupakan pernyataan yang benar.
Bila antecedent kita lambangkan dengan A dan konsekuen dengan B, jadwal
hukum silogisme hipotetik adalah:
1. Bila A terlaksana maka B juga terlaksana.
2. Bila A tidak terlaksana maka B tidak terlaksana. (tidak sah = salah)
3. Bila B terlaksana, maka A terlaksana. (tidak sah = salah)
4. Bila B tidak terlaksana maka A tidak terlaksana
Contoh :
a. Premis Mayor: Jika tidak turun hujan, maka panen akan gagal
Premis Minor: Hujan tidak turun
Konklusi : Sebab itu panen akan gagal.
b. Premis Mayor : Jika tidak ada air, manusia akan kehausan.
Premis Minor : Air tidak ada.
Kesimpulan : Manusia akan kehausan.
3. Silogisme Akternatif :
Silogisme yang terdiri atas premis mayor berupa proposisi alternatif.
Proposisi alternatif yaitu bila premis minornya membenarkan salah satu
alternatifnya. Simpulannya akan menolak alternatif yang lain. Proposisi
minornya adalah proposisi kategorial yang menerima atau menolak salah satu
alternatifnya. Konklusi tergantung dari premis minornya.
Silogisme ini ada dua macam, silogisme disyungtif dalam arti sempit dan
silogisme disyungtif dalam arti luas. Silogisme disyungtif dalam arti sempit
mayornya mempunyai alternatif kontradiktif, seperti:
la lulus atau tidak lulus.
Ternyata ia lulus
Jadi, la bukan tidak lulus
Silogisme disyungtif dalam arti luas premis mayomya mempunyai alternatif
bukan kontradiktif, seperti:
Xsa di rumah atau di pasar.
Ternyata tidak di rumah.
Jadi, di pasar
Silogisme disyungtif dalam arti sempit maupun arti iuas mempunyai dua tipe
yaitu:
1. Premis minornya mengingkari salah satu alternatif, konklusi-nya adalah
mengakui alternatif yang lain.
2. Premis minor mengakui salah satu alternatif, kesimpulannya adalah
mengingkari alternatif yang lain.
v Kaedah-kaedah silogisme alternatif :
1. Silogisme disyungtif dalam arti sempit, konklusi yang dihasilkan selalu
benar, apabila prosedur penyimpulannya valid
2. Silogisme disyungtif dalam arti luas, kebenaran koi adalah sebagai
berikut:
a. Bila premis minor mengakui salah satu alterna konklusinya sah (benar)
Contoh : Rizki menjadi guru atau pelaut.
la adalah guru.
Jadi bukan pelaut
Rizki menjadi guru atau pelaut.
la adalah pelaut.
Jadi bukan guru
b. Bila premis minor mengingkari salah satu alterna konklusinya tidak sah
(salah)
Contoh : Penjahat itu lari ke Surabaya atau ke Yogya.
Ternyata tidak lari ke Yogya.
Jadi ia lari ke Surabaya. (Bisa jadi ia lari ke kota lain).
Rifki menjadi guru atau pelaut.
Ternyata ia bukan pelaut.
Jadi ia guru. (Bisa jadi ia seorang pedagang)
Contoh :
Premis Mayor : Nenek Sumi berada di Bandung atau Bogor.
Premis Minor : Nenek Sumi berada di Bandung.
Kesimpulan : Jadi, Nenek Sumi tidak berada di Bogor.
4. Entimen
Silogisme ini jarang ditemukan dalam
kehidupan sehari-hari, baik dalam tulisan maupun tulisan. Yang dikemukakan
hanya premis minor dan kesimpulan.
Entimen atau Enthymeme berasal dari bahasa Yunani “en” artinya di dalam dan
“thymos” artinya pikiran adalah sejenis silogisme yang tidak lengkap, tidak
untuk menghasilkan pembuktian ilmiah, tetapi untuk menimbulkan keyakinan dalam
sebuah entimem, penghilangan bagian dari argumen karena diasumsikan dalam
penggunaan yang lebih luas, istilah "enthymeme" kadang-kadang
digunakan untuk menjelaskan argumen yang tidak lengkap dari bentuk selain silogisme.
Menurut Aristoteles yang ditulis dalam Retorika, sebuah "retorik
silogisme" adalah bertujuan untuk pembujukan yang berdasarkan kemungkinan
komunikan berpendapat sedangkan teknik bertujuan untuk pada demonstrasi. Kata
lainnya, entimem merupakan silogisme yang diperpendek.
Contoh :
Rumus Entimen:
PU : Semua A = B : Pegawai yang baik tidak pernah datang terlambat.
PK : Nyoman pegawai yang baik.
S : Nyoman tidak pernah datang terlambat
Entimen : Nyoman tidak pernah datang terlambat karena ia pegawai yang baik
v Beberapa ciri utama dari penalaran deduktif, yaitu :
1. Jika semua premis benar maka kesimpulan pasti benar
2. Semua informasi atau fakta pada kesimpulan sudah ada, sekurangnya secara
implisit, dalam premis.
5. Salah Nalar
Salah nalar (fallacy) ialah gagasan,
pikiran atau simpulan yang keliru atau sesat. Salah nalar terjadi karena kita
tidak mengikuti tata cara pemikiran dengan tepat. Telaah atas kesalahan itu
akan macam salah nalar, yaitu :
1. Deduksi yang salah
Salah nalar akibat deduksi yang salah amat
sering dilakukan orang. Hal ini terjadi akibat simpulan simpulan yang salah
dalam silogisme yang berpremis salah atau yang premisnya tidak
Misalnya : Pengiriman manusia ke bulan hanyalah penghamburan. (premisnya :
semua eksperimen ke angkasa luar hanyalah penghamburan)
2. Generalisasi yang terlalu luas
Salah nalar ini terjadi karena jumlah
premis yang terbatas tidak memadai. Harus dicatat bahwa kadang-kadang premis
yang terbatas mengizinkan generalisasi yang sahih.
Misalnya : Orang Indonesia malas tetapi ramah. ( Orang Indonesia ada yang
malas ada juga yang ramah).
3. Pemikiran “atau ini, atau itu”
Misalnya : Petani harus bersekolah supaya
terampil. (Apakah untuk menjadi terampil kita selalu harus bersekolah? )
4. Salah nalar atas penyebabnya
Generalisasi induktif sering disusun
berdasarkan pengamatan sebab dan akibat, tetapi kita kadang-kadang tidak
menilai dengan tepat sebab suatu peristiwa atau hasil kejadian. Khususnya dalam
hal yang menyangkut manusia, penentuan sebab dan akibat sifatnya sulit. Salah
nalar atas penyebab yang lazim terjadi ialah salah nalar yang disebut post hoc
dan ergo propter hoc (sesudah itu dan maka karena itu).
Misalnya : Swie King menjadi juara karena doa kita. (Lawan Swie King tentu
juga didoakan oleh para pendukungnya).
5. Analogi yang salah
Analogi adalah usaha perbandingan dan
merupakan upaya yang berguna untuk mengembangkan penalaran. Namun, analogi
tidak membuktikan apa-apadan analogi yang salah dapat menyesatkan karena
logikanya salah.
Misalnya : Rektor harus memimpin unuversitas seperti jendral memimpin
divisi. (Universitas itu bukan tentara dengan disiplin tentara).
6. Penyimpangan masalah
Salah nalar disini terjadi jika
argumentasi tidak mengenai pokok, atau jika kita menukar pokok masalah dengan
pokok masalah yang lain, ataupun jika kita menyimpang dari garis masalah.
Misalnya : Program kelurga berencana tidak perlu karena tanah di Kalimantan
masih kosong. (Manusia tidak bisa hidup dengan hanya memilikitanah).
7. Pembenaran masalah lewat pokok sampingan
Salah nalar disini muncul jika argumentasi
menggunakan pokok yang tidak langsung berkaitan, untuk membenarkan
pendiriannya. Misalnya orang merasa kesalahannya dapat dibenarkan karena
lawannya juga berbuat salah.
Misalnya : Saya boleh berkorupsi karena orang lain berkorupsi juga.
(Korupsi dihalalkan karena banyaknay korupsi dimana-mana).
8. Argumentasi ad hominem
Salah nalar ini terjadi jika kita dalam
argumentasi melawan orangnya dan bukan persoalannya. Khususnya dibidang
politik, argumentasi jenis ini banyak dipakai.
Misalnya : Ia tidak mungkin seorang pemimpin yang baik karena kekayaannya
berlimpah. (Yang dipersoalkan bukanlah kepemimpinannya).
9. Imbauan pada keahlian yang disangsikan
Dalam pembahasan masalah, orang sering
mengandalkan wibawa kalangan ahli untuk memperkuat argumentasinya. Mengutip
pendapat seorang ahli sangat berguna walaupun kutipan itu tidak dapat
membuktikan secara mutlak kebenaran pokok masalah. Misalnya, kita mengutip
pendapat bintang film tentang pengembangan demokrasi.
10. Non sequitur
Dalam argumentasi, salah nalar ini
mengambil simpulan berdasarkan premis yang tidak, atau hampir tidak ada sangkut
pautnya sama sekali.
Misalnya : Partai Rakyat Madani paling banyak cendekiawannya; karena itu
usul-usulnya paling bermutu. (Tidak ada korelasi antara kecendekiaan dan
kepandaian merumuskan usul).
2.4 Prinsip-Prinsip Penalaran
Istilah “prinsip” sering diartikan dengan
“kaidah” atau “hukum”, adapun yang dimaksudkan adalah suatu pernyataan yang
mengandung kebenaran universal, yaitu kebenarannya tidak terbatas oleh ruang
dan waktu, di mana saja dan kapan saja dapat digunakan.
Suatu prinsip, jika tidak membutuhkan
suatu pembuktian, yang jelas dengan sendirinya, karena terlalu sederhana, maka
prinsip itu disebut dengan “aksioma” atau “prinsip dasar”. Dengan demikian
aksioma atau prinsip dasar dapat didefinisikan: suatu pernyataan mengandung
kebenaran universal yang kebenarannya itu sudah terbukti dengan sendirinya,
atau dirumuskan juga, suatu hal yang diterimanya sebagai kenyataan yang
bersifat universal. Sebagai contoh misalnya salah satu aksioma Euklidus
(seorang tokoh Geometrika Iskandariah sekitar tahun 300 SM) : “Suatu
keseluruhan lebih besar daripada sebagian”. Pernyataan ini jelas dengan
sendirinya, lansung dapat dimengerti tidak perlu membutuhkan hal-hal lain untuk
membuktikan kebenarannya.
Aksioma atau prinsip dasar, setiap ilmu
pengetahuan berbeda-beda, namun demikian ada juga suatu aksioma dari suatu ilmu
digunakan juga sebagai aksioma bagi ilmu yang lain. Demikian juga prinsip dalam
logika yang akan diuraikan ada kemungkinan digunakan oleh ilmu lain. Prinsip
dasar dalam logika sering disebut dengan “prinsip penalaran”, dan ada juga yang
menyebutnya dengan “prinsip-prinsip pemikiran”. Adapun penggunaannya lansung
berhubungan dengan menetapkan pernyataan. Oleh karena itu sebenarnya tepat jika
dikatakan “prinsip dasar pernyataan”.
Prinsip dasar pernyataan ini hanya ada
tiga prinsip, yang mengemukakan pertama-kali adalah Aristoteles (384-322),
adapun prinsip kedua mengalami penyempurnaan dalam menyatakan dan tanpa merobah
makna yang dimaksudkannya, yaitu : prinsip identitas, prinsip non kontradiksi,
dan prinsip eksklusi tertii. Ketiga prinsip ini diuraikan secara terperinci
sebagai berikut :
1. Prinsip identitas
Prinsip ini dalam istilah latin ialah
principium identitatis (law of identity), merupakan dasar dari semua penalaran,
sifatnya langsung analitis dan jelas dengan sendirinya, tidak membutuhkan
pembuktian. Prinsip identitas berbunyi : “sesuatu hal adalah sama halnya
sendiri”, dengan kata lain : “sesuatu yang disebut p maka sama dengan p yang
dinyatakan itu sendiri bukan yang lain”. Secara simbolik dirumuskan sebagai
berikut :
(p <=> p) dibaca : p adalah identik
P itu sendiri.
Sesuatu x yang disebut sebagai p adalah
identik dengan p itu sendiri
Prinsip ini menyatakan bahwa sesuatu benda adalah benda itu sendiri, tidak
mungkin yang lain. Dan selanjutnya dalam suatu perbincangan, jika sesuatu hal
diartikan sesuatu p tertentu maka selama perbincagan itu masih berlangsung
tidak boleh diartikan selain p, dalam arti harus tetap sama dengan arti yang
diberikan semula. Atau dengan rumuan lain, pengakuan bahwa benda ini adalah
benda ini bukan benda lain, dan bahwa benda itu adalah benda itu bukan benda
yang lain.
2. Prinsip non Kontradiksi
Prinsip ini dalam istilah latin ditulis
principium contradictionis (law of contrediction), yakni prinsip kontradiksi.
Penyebutan prinsip kontradiksi ini adalah tidak tepat, karena yang dimasudkan
adalah tidak adanya kontradiksi dalam suatu pernyataan, Prinsip non kontradiksi
berbunyi : sesuatu tidak dapat sekaligus merupakan hal itu dan bukan hal itu pada
waktu yang bersamaan”, atau “sesuatu pernyataan tidak mungkin mempunyai nilai
benar dan tidak benar pada saat yang sama”. Dengan kata lain : ‘sesuatu
tidaklah mungkin secara bersamaan merupakan p dan non p”. Secara simbolik
dirumuskan sebagai berikut :
- (p ˄ -p) dibaca : tidaklah demikian halnya bahwa p dan non p bersamaan.
Sesuatu x jika merupakan anggota p
jelaslah tidak mungkin sekaligus anggota non p. Yang dimaksudkan dengan prinsip
ini ialah bahwa dua sifat yang berlawanan penuh (secara mutlak) tidak mungkin
ada pada suatu benda dalam waktu dan tempat yang sama. Kita misalkan suatu
pernyataan : badan benda x ini hidup dan tidak hidup. Kedua term yang sebagai
sifat untuk badan benda x itu tidak mungkin diterima kedua-duanya dalam saat
yang sama, walaupun benda x itu dapat dibenarkan pada suatu saat hidup dan pada
saat yang lain tidak hidup, namun tidak mungkin keduanya bersamaan waktu.
3. Prinsip eksklusi tertii :
Prinsip ini dalam istilah Latin ialah
principium exclusi tertii (law of excluded middle), yakni prinsip penyisihan
jalan tengah atau prinsip tidak adanya kemungkinan ketiga. Prinsip eksklusi
tertii berbunyi : “sesuatu jika dinyatakan sebagai hal tertentu atau bukan hal
tertentu maka tidak ada kemungkinan ketiga yang merupakan jalan tengah” dengan
kata lain : sesuatu x mestilah “p” atau “non p” sekaligus, atau juga “non p”
dan “non-non p” bersamaan, hal ini tidak mungkin, berdasarkan prinsip non
kontradiksi. Prinsip ini secara simbolik dirumuskan sebagai berikut :
(p V –p) dibaca ; sesuatu mestilah p atau non p.
Sesuatu x hanya sebagai anggota p atau anggota non p.
Arti dari prinsip ini ialah bahwa dua
sifat yang berlawanan penuh (secara mutlak) tidak mungkin kedua-duanya dimiliki
oleh suatu benda, mestilah hanya salah satu yang dapat dimilikinya, sifat p
atau non p. Atau dengan kata lain bahwa salah satu dari dua sifat yang
berlawanan penuh mestilah benar bagi salah satu dan tidak benar bagi yang lain,
tidak mungkin keduanya benar atau tidak mungkin keduanya salah, misal :benda
hidup x ini manusia atau bukan manusia. Jika dinyatakan sebagai manusia dinilai
benar, berarti sesuai dengan kenyataan, maka bukan manusia adalah salah, karena
jelas tidak sesuai dengan kenyataannya, atau sebaliknya, dinyatakan sebagai
manusia dinilai salah, maka bukan manusia adalah benar, tidak ada kemungkinan
ketiga, yaitu keduanya benar atau keduanya salah pada satu benda.
Disamping tiga prinsip yang dikemukakan
oleh Aristoteles di atas, seorang filsuf Jerman Gottfried Wilhelm von Leibniz
(1646-1716) menambah satu prinsip yang merupakan pelengkap atau tambahan bagi
prinsip identitas, yaitu :
4. Prinsip cukup alasan
Prinsip ini dalam istilah Latin disebut
dengan principium rationis sufficientis (law of sufficient reason), yang
berbunyi : “suatu perubahan yang terjadi pada sesuatu hal tertentu mestilah
berdasarkan alasan yang cukup, tidak mungkin tiba-tiba berubah tanpa
sebab-sebab yang mencukupi”. Dengan kata lain : “Adanya sesuatu itu mestilah
mempunyai alasan yang cukup, demikian pula jika ada perubahan pada keadaan sesuatu”,
misal : jika suatu benda jatuh ke tanah, alasannya ialah karena adanya daya
tarik bumi, sedangkan benda itu tidak ada yang menahannya. Prinsip cukup alasan
ini dinyatakan sebagai tambahan bagi prinsip identitas karena secara tidak
langsung menyatakan bahwa sesuatu benda mestilah tetap tidak berubah, artinya
tetap sebagaimana benda itu sendiri, tetapi jika kebetulan terjadi suatu
perubahan, maka perubahan itu mestilah ada sesuatu yang mendahuluinya sebagai
penyebab perubahan itu.
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Logika artinya bernalar; penalaran
(reasoning) adalah proses mengambil simpulan (conclusion) dari bahan bukti atau
petunjuk (evidence) yang ada. Secara umum ada dua jalan untuk mengambil
simpulan dalam penalaran, yakni lewat penalaran induktif dan penalaran
deduktif. Deduktif dan induktif berkaitan dengan logika atau penalaran. Cara
menarik simpulan bisa dilakukan dengan dua cara, yakni penarikan simpulan
secara langsung dan penarikan simpulan secara tidak langsung. Salah nalar
(fallacy) ialah gagasan, perkiraan atau simpulan yang keliru atau sesat. Salah
nalar terjadi karena kita tidakmengikuti tata carapemikiran dengan tepat.
Telaah atas kesalahan itu membantu kita menemukan logika yang tidak masuk akal
dalam tulisan atau karangan.
DAFTAR PUSTAKA
http://jeffy-louis.blogspot.com/2011/01/unsur-unsur-penalaran.html
http://ilhamkons.wordpress.com/2011/12/30/penalaran/
http://rinmichiyo.blogspot.com/2013/09/makalah-penalaran.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar